Dari
pengamatan penulis hampir semua desa di Indonesia belum mempunyai buku sejarah
mengenai desanya, para kepala desa/lurah terkesan meremehkan hal ini, namun
demikian sebenarnya mereka ini sangat berharap dapat memiliki catatan sejarah
mengenai desanya. Demikian juga dengan warga desa, sebenarnya mereka juga
berharap dapat mengetahui sejarah desanya di masa lalu. Keingintahuan akan
sejarah desanya tersebut pada umumnya kandas atau tak terpenuhi karena tidak
adanya buku cerita sejarah desa setempat yang dengan akurat menceritakannya. Di
desa-desa pada umumnya sudah ada buku cerita sejarah desa, dan itu biasanya
dibuat hanya 1 (satu) buah untuk kepentingan dibacakan ada acara bersih desa.
Isi cerita sejarahnya pun sangat sederhana, pada umumnya menceritakan asal usul nama
desa dan nama-nama Kepala Desa yang pernah menjabat, sedangkan sejarah
perkembangannya tidak terekam dalam buku sejarah yang dibuat desa itu. Tentang
penggalian nama asal usul desa, pada umumnya masih menggunakan jurus OAG (Otak
Atik Gatuk) yang kadang kala sudah diotak atik sedemikian rupa tetapi tidak juga gatuk, bahkan akibat
jurus OAG ini asal usul nama desa menjadi kabur karena menjadi banyak versi dan kesemuanya Gatuk
ke nama desa.
Menggali
cerita sejarah dengan jurus OAG ini kelihatannya logis, tetapi bila ditelusuri
secara cermat tidak jarang hal ini malah menyesatkan alur cerita sejarah yang
semestinya. Dan fatalnya para Kepala Desa dalam upaya menggali sejarah desanya banyak dinggunakan Jurus OAG ini, hal ini karena adanya kebuntuan informasi tentang
cerita sejarah sebagai akibat dari sangat minimnya peninggalan sejarah yang dapat
dijadikan sumber referensi. Minimnya peninggalan sejarah ini berkaitan erat dengan kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya sebuah peninggalan benda
bersejarah sehingga sering terjadi penemuan benda bersejarah diabaikan begitu
saja bahkan dianggap barang tak berguna. Demikian juga banyak situs-situs
bersejarah yang semestinya dirawat dengan baik malah dibiarkan terbengkalai
bahkan dirusak, hal ini sungguh sangat disayangkan sekali.
Kesulitan
penggalian sejarah berikutnya diakibatkan karena sudah sangat sulitnya
ditemukan orang yang dapat bercerita tentang sejarah desanya disebabkan karena
mereka telah banyak yang meninggal dunia, sedangkan semasa hidupnya mereka
tidak banyak menularkan cerita sejarah kepada generasi di bawahnya, bukan
karena tidak mau tetapi lebih karena bergesernya nilai budaya yang terus
berkembang yang berdampak kurang minatnya generasi penerus terhadap kisah
cerita lama yang dianggapnya tidak menarik, jadul, tempo doeloe dan ketinggalan
jaman.
Desa Penarukan
yang sejak 1 Januari 1981 telah beralih status menjadi Kelurahan ini memang telah
memiliki catatan sejarah desa dan telah diarsipkan, tetapi kembali kepada
kualitas alur cerita dan ke dalaman pokok pembahasan cerita sejarahnya masih
sangat jauh dari harapan karena tidak didukung dengan sumber data sejarah yang
memadai, unsur OAG masih mewarnai alur ceritanya, dan tampak jelas adanya alur
cerita yang terputus bahkan tidak terrekam
dalam alur cerita, misalnya : Nama punden desa berupa goa yang disebut (Urung-urung),
nama Dungulan, Palurukan, Penarukan, Kampung Ketanen/Tanen , Kampung
Mentaraman, Kampung Tengah, Kampung Buntung, Kampung Pandean, Kampung Kauman,
Beranan, Kampung Kebonan, Kampung Yai Kamit dan banyak lagi yang lainnya. Belum
lagi jenis-jenis seni budaya yang berkembang seperti, Wayang Kulit, Tandaan
(Tayub), Wong Moco (membaca kisah),
Pencak Dor, Metik Panen Padi dan lain-lain, sama sekali tidak disinggung. Catatan
sejarah desa Penarukan yang sudah ada itu dibuat secara singkat berisi tentang
pokok-pokoknya saja. Tentang kualitasnya, tentunya hal ini akan kelihatan setelah
diadakan pembahasan nanti, dan akan tampak sampai di mana tingkat akurasi
kebenarannya, kualitas keakuratannya maupun kedalaman pokok pembahasannya, namun
demikian cerita sejarah desa yang sudah ada itu masih tetap berguna sebagai salah
satu penuntun maupun petunjuk untuk menelusuri alur sejarah menuju ke suatu
titik yaitu tersusunnya sejarah desa Penarukan yang lebih lengkap, dengan
kualitas dan akurasi kebenaran yang lebih baik.
Letak geografi
Desa Penarukan berada di tepi sungai Brantas yang mempunyai sejarah sangat
panjang. Sungai yang menurut sejarahnya sejak dulu kala hingga kini menjadi
urat nadi penopang ekonomi penduduk sekitarnya.
Di jaman dulu,
ketika lalulintas perhubungan belum maju, prasana dan sarana jalan darat masih
sangat minim sekali, daratan masih didominasi hutan belantara, maka jalur
aliran sungai menjadi sarana lalulintas perhubungan yang sangat vital bagi kehidupan
manusia, oleh karena itu tak heran bila nama-nama desa yang teridentifikasi di dalam prasasti maupun kitab-kitab kuno, setelah diteliti dengan seksama terbukti bahwa kebanyakan
desa-desa itu berada tak jauh dari sungai. Demikian juga adanya bekas
peninggalan benda purbakala yang mengindikasikan adanya sebuah desa, sering
ditemukan tidak jauh dari sungai. Kali Brantas yang membentang dari Kota Batu
mengalir sejauh + 320 Km dan bermuara di Porong dan Surabaya, sejak dulu
kala telah terbukti menjadi urat nadi perekonomian kerajaan-kerajaan di Jawa
Timur, bahkan hingga saat ini DAS Brantas masih sangat dirasakan arti pentingnya.
(Dwi Cahyono) seorang arkeolog Universitas Negeri Malang, dalam sebuah artikel bertajuk
“Brantas Merajut”, menyampaikan: “BRANTAS, sungai terpanjang di Jawa Timur yang melintasi paling tidak 12 kabupaten/kota, memiliki peran
vital sejak dahulu kala. Kehidupan masyarakat sejak zaman kerajaan, seperti
Singasari, Kadiri, dan Majapahit, pernah menghiasi alur sungai terpanjang kedua
di Pulau Jawa itu”.
Masih oleh Dwi Cahyono, dalam “Benang air”, Arkeolog
dari Universitas Negeri Malang, ini mengatakan :
“Brantas merupakan benang air yang merajut
belasan sub area wilayah tengah Jawa Timur, mulai dari hulu di Kota Batu hingga hilir diSurabaya dan Sidoarjo. Situs-situs masa lalu ada di semua sub-DAS meski
kerapatannya berbeda. Jumlahnya cukup banyak dan temuan paling padat ada di
antara Blitar hingga di sisi utara Mojokerto. Mengapa banyak temuan? karena
sub-DAS dari Blitar sampai Mojokerto menjadi pusat pemerintahan masa lalu,
mulai dari Mataram Dinasti Isyana-Sindok, Kediri, hingga Majapahit. Dan,
kerajaan-kerajaan itu ada di sub-DAS Brantas, termasuk Singasari yang tidak
jauh dari hulu sungai,” ucap Dwi yang belum lama ini menemukan struktur
bangunan kuno di tengah Sungai Brantas di wilayah Kabupaten Tulungagung.
Peninggalan masa lalu yang terdapat di DAS Brantas tidak serta-merta merupakan
hasil karya pendahulu saat zaman kerajaan berdiri. Ada beberapa temuan yang
merupakan peninggalan tahun-tahun sebelumnya atau prasejarah. Homo
Mojokertensis, misalnya, fosilnya yang ditemukan di Perning tahun 1936 juga
berada di DAS Brantas. Jejak peradaban kuno yang tertinggal di DAS Brantas
tidak hanya peninggalan masa Hindu-Budha, tetapi juga Islam. Banyak peninggalan
masa Islam, seperti masjid dan makam, di DAS sepanjang 320 kilometer itu.”
Terkait dengan
letak geografi desa Penarukan yang juga berada di tepi kali Brantas, adalah
menjadi mungkin bahwa Desa Penarukan adalah salah satu desa tua (Wanua) dijaman
kerajaan, namun belum diketahui mulai adanya Desa Penarukan itu dijaman kerajaan apa, yang jelas Desa Penarukan itu
merupakan wilayah yang cukup penting dan strategis.
Adanya fakta
bahwa di desa Penarukan tepatnya di tepi kali Brantas, pada tahun 1960-an
pernah ditemukan satu bangunan candi yang hingga kini masih utuh terpendam
dalam tanah dan hingga kini belum pernah digali, selain itu tidak jauh dari
lokasi candi dan berada persis di tepi kali Brantas terdapat Punden berupa goa
pertapaan, warga setempat menyebutnya “urung-urung”. Di samping hal tersebut
disekitaran lokasi candi pernah ditemukan artefak-artefak kuno. Hal-hal
tersebut semakin mengindikasikan bahwa Desa Penarukan adalah Desa tua yang
masih misterius, dan tidak menutup kemungkinan di masa lalu Desa Penarukan adalah merupakan
tempat perkembangan peradaban penduduk Kepanjen dan sekitarnya.
Dalam prasasti
Turyyan berangka tahun 929 Masehi, tersebut adanya nama Panarukan dan urung-urung,
serta isinya mengungkap adanya pembangunan tempat pemujaan di sebelah barat
sungai, dan pemberian tanah tegalan agar dibuat sawah dengan cara membendung
sungai. Hal ini sangat idetik dengan ciri-ciri keadaan Desa Penarukan utamanya
yang berada di tepi kali Brantas tersebut di atas. Pada akhirnya timbul
pertanyaan besar, adakah yang tersurat dalam prasasti itu adalah Desa
Penarukan? dari pertanyaan inilah upaya menguak sejarah Desa Penarukan menimbulkan dorongan
yang sangat kuat karena adanya dugaan kuat bahwa dengan terkuaknya sejarah
Desa Penarukan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perkembangan sejarah Indonesia khususnya Malang selatan.
Denbahbei, 17-7-17