Senin, 17 Juli 2017

MENGUAK SEJARAH DESA PENARUKAN PANJEN 1

Dari pengamatan penulis hampir semua desa di Indonesia belum mempunyai buku sejarah mengenai desanya, para kepala desa/lurah terkesan meremehkan hal ini, namun demikian sebenarnya mereka ini sangat berharap dapat memiliki catatan sejarah mengenai desanya. Demikian juga dengan warga desa, sebenarnya mereka juga berharap dapat mengetahui sejarah desanya di masa lalu. Keingintahuan akan sejarah desanya tersebut pada umumnya kandas atau tak terpenuhi karena tidak adanya buku cerita sejarah desa setempat yang dengan akurat menceritakannya. Di desa-desa pada umumnya sudah ada buku cerita sejarah desa, dan itu biasanya dibuat hanya 1 (satu) buah untuk kepentingan dibacakan ada acara bersih desa. Isi cerita sejarahnya pun sangat sederhana, pada umumnya menceritakan asal usul nama desa dan nama-nama Kepala Desa yang pernah menjabat, sedangkan sejarah perkembangannya tidak terekam dalam buku sejarah yang dibuat desa itu. Tentang penggalian nama asal usul desa, pada umumnya masih menggunakan jurus OAG (Otak Atik Gatuk) yang kadang kala sudah diotak atik sedemikian rupa tetapi tidak juga gatuk, bahkan akibat jurus OAG ini asal usul nama desa menjadi kabur karena menjadi banyak versi dan kesemuanya Gatuk ke nama desa.
Menggali cerita sejarah dengan jurus OAG ini kelihatannya logis, tetapi bila ditelusuri secara cermat tidak jarang hal ini malah menyesatkan alur cerita sejarah yang semestinya. Dan fatalnya para Kepala Desa dalam upaya menggali sejarah desanya banyak dinggunakan Jurus OAG ini, hal ini karena adanya kebuntuan informasi tentang cerita sejarah sebagai akibat dari sangat minimnya peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sumber referensi. Minimnya peninggalan sejarah ini berkaitan erat dengan kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya sebuah peninggalan benda bersejarah sehingga sering terjadi penemuan benda bersejarah diabaikan begitu saja bahkan dianggap barang tak berguna. Demikian juga banyak situs-situs bersejarah yang semestinya dirawat dengan baik malah dibiarkan terbengkalai bahkan dirusak, hal ini sungguh sangat disayangkan sekali. 
Kesulitan penggalian sejarah berikutnya diakibatkan karena sudah sangat sulitnya ditemukan orang yang dapat bercerita tentang sejarah desanya disebabkan karena mereka telah banyak yang meninggal dunia, sedangkan semasa hidupnya mereka tidak banyak menularkan cerita sejarah kepada generasi di bawahnya, bukan karena tidak mau tetapi lebih karena bergesernya nilai budaya yang terus berkembang yang berdampak kurang minatnya generasi penerus terhadap kisah cerita lama yang dianggapnya tidak menarik, jadul, tempo doeloe dan ketinggalan jaman.
Desa Penarukan yang sejak 1 Januari 1981 telah beralih status menjadi Kelurahan ini memang telah memiliki catatan sejarah desa dan telah diarsipkan, tetapi kembali kepada kualitas alur cerita dan ke dalaman pokok pembahasan cerita sejarahnya masih sangat jauh dari harapan karena tidak didukung dengan sumber data sejarah yang memadai, unsur OAG masih mewarnai alur ceritanya, dan tampak jelas adanya alur cerita yang terputus bahkan tidak terrekam  dalam alur cerita, misalnya : Nama punden desa berupa goa yang disebut (Urung-urung), nama Dungulan, Palurukan, Penarukan, Kampung Ketanen/Tanen , Kampung Mentaraman, Kampung Tengah, Kampung Buntung, Kampung Pandean, Kampung Kauman, Beranan, Kampung Kebonan, Kampung Yai Kamit dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi jenis-jenis seni budaya yang berkembang seperti, Wayang Kulit, Tandaan (Tayub), Wong Moco (membaca kisah), Pencak Dor, Metik Panen Padi dan lain-lain, sama sekali tidak disinggung. Catatan sejarah desa Penarukan yang sudah ada itu dibuat secara singkat berisi tentang pokok-pokoknya saja. Tentang kualitasnya, tentunya hal ini akan kelihatan setelah diadakan pembahasan nanti, dan akan tampak sampai di mana tingkat akurasi kebenarannya, kualitas keakuratannya maupun kedalaman pokok pembahasannya, namun demikian cerita sejarah desa yang sudah ada itu masih tetap berguna sebagai salah satu penuntun maupun petunjuk untuk menelusuri alur sejarah menuju ke suatu titik yaitu tersusunnya sejarah desa Penarukan yang lebih lengkap, dengan kualitas dan akurasi kebenaran yang lebih baik.
Letak geografi Desa Penarukan berada di tepi sungai Brantas yang mempunyai sejarah sangat panjang. Sungai yang menurut sejarahnya sejak dulu kala hingga kini menjadi urat nadi penopang ekonomi penduduk sekitarnya.
Di jaman dulu, ketika lalulintas perhubungan belum maju, prasana dan sarana jalan darat masih sangat minim sekali, daratan masih didominasi hutan belantara, maka jalur aliran sungai menjadi sarana lalulintas perhubungan yang sangat vital bagi kehidupan manusia, oleh karena itu tak heran bila nama-nama desa yang teridentifikasi di dalam prasasti maupun kitab-kitab kuno, setelah diteliti dengan seksama terbukti bahwa kebanyakan desa-desa itu berada tak jauh dari sungai. Demikian juga adanya bekas peninggalan benda purbakala yang mengindikasikan adanya sebuah desa, sering ditemukan tidak jauh dari sungai. Kali Brantas yang membentang dari Kota Batu mengalir sejauh + 320 Km dan bermuara di Porong dan Surabaya, sejak dulu kala telah terbukti menjadi urat nadi perekonomian kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, bahkan hingga saat ini DAS Brantas masih sangat dirasakan arti pentingnya. (Dwi Cahyono) seorang arkeolog Universitas Negeri Malang, dalam sebuah artikel bertajuk “Brantas Merajut”, menyampaikan: “BRANTAS, sungai terpanjang di Jawa Timur yang melintasi paling tidak 12 kabupaten/kota, memiliki peran vital sejak dahulu kala. Kehidupan masyarakat sejak zaman kerajaan, seperti Singasari, Kadiri, dan Majapahit, pernah menghiasi alur sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa itu”.

Masih oleh Dwi Cahyono, dalam “Benang air”, Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, ini mengatakan :
“Brantas merupakan benang air yang merajut belasan sub area wilayah tengah Jawa Timur, mulai dari hulu di Kota Batu hingga hilir diSurabaya dan Sidoarjo. Situs-situs masa lalu ada di semua sub-DAS meski kerapatannya berbeda. Jumlahnya cukup banyak dan temuan paling padat ada di antara Blitar hingga di sisi utara Mojokerto. Mengapa banyak temuan? karena sub-DAS dari Blitar sampai Mojokerto menjadi pusat pemerintahan masa lalu, mulai dari Mataram Dinasti Isyana-Sindok, Kediri, hingga Majapahit. Dan, kerajaan-kerajaan itu ada di sub-DAS Brantas, termasuk Singasari yang tidak jauh dari hulu sungai,” ucap Dwi yang belum lama ini menemukan struktur bangunan kuno di tengah Sungai Brantas di wilayah Kabupaten Tulungagung. Peninggalan masa lalu yang terdapat di DAS Brantas tidak serta-merta merupakan hasil karya pendahulu saat zaman kerajaan berdiri. Ada beberapa temuan yang merupakan peninggalan tahun-tahun sebelumnya atau prasejarah. Homo Mojokertensis, misalnya, fosilnya yang ditemukan di Perning tahun 1936 juga berada di DAS Brantas. Jejak peradaban kuno yang tertinggal di DAS Brantas tidak hanya peninggalan masa Hindu-Budha, tetapi juga Islam. Banyak peninggalan masa Islam, seperti masjid dan makam, di DAS sepanjang 320 kilometer itu.”

Terkait dengan letak geografi desa Penarukan yang juga berada di tepi kali Brantas, adalah menjadi mungkin bahwa Desa Penarukan adalah salah satu desa tua (Wanua) dijaman kerajaan, namun belum diketahui mulai adanya Desa Penarukan itu dijaman kerajaan apa, yang jelas Desa Penarukan itu merupakan wilayah yang cukup penting dan strategis.
Adanya fakta bahwa di desa Penarukan tepatnya di tepi kali Brantas, pada tahun 1960-an pernah ditemukan satu bangunan candi yang hingga kini masih utuh terpendam dalam tanah dan hingga kini belum pernah digali, selain itu tidak jauh dari lokasi candi dan berada persis di tepi kali Brantas terdapat Punden berupa goa pertapaan, warga setempat menyebutnya “urung-urung”. Di samping hal tersebut disekitaran lokasi candi pernah ditemukan artefak-artefak kuno. Hal-hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa Desa Penarukan adalah Desa tua yang masih misterius, dan tidak menutup kemungkinan  di masa lalu Desa Penarukan adalah merupakan tempat perkembangan peradaban penduduk Kepanjen dan sekitarnya.

Dalam prasasti Turyyan berangka tahun 929 Masehi, tersebut adanya nama Panarukan dan urung-urung, serta isinya mengungkap adanya pembangunan tempat pemujaan di sebelah barat sungai, dan pemberian tanah tegalan agar dibuat sawah dengan cara membendung sungai. Hal ini sangat idetik dengan ciri-ciri keadaan Desa Penarukan utamanya yang berada di tepi kali Brantas tersebut di atas. Pada akhirnya timbul pertanyaan besar, adakah yang tersurat dalam prasasti itu adalah Desa Penarukan? dari pertanyaan inilah upaya menguak sejarah Desa Penarukan menimbulkan dorongan yang sangat kuat karena adanya dugaan kuat bahwa dengan terkuaknya sejarah Desa Penarukan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan sejarah Indonesia khususnya Malang selatan.


Denbahbei, 17-7-17

Kamis, 23 Maret 2017

Sejarah Sawah Beran dan Tanah Gogol di Desa Penarukan Kepanjen (Cikal Bakal dibangunnya Kali Molek)

(Suatu Kisah Cerita Sejarah tentang awal mula dibangunnya Sungai Molek) 
Dahulu kala tanah tegal Beran itu menyatu dengan tanah Kampung yang ada di sebelah baratnya (berada dalam satu hamparan). Diduga setelah diterjadi banjir besar yang melanda Sungai Brantas hingga airnya meluber menerjang hamparan itu, maka hamparan tanah itu terpisah menjadi dua yaitu Tegal Beran dan kampong Tengah. Sedangkan luberan banjir yang memutus hamparan itu menjadi sungai yang lebar tetapi dangkal (bekas tepian tanah yang tergerus sungai luberan banjir itu masih dapat dilihat hingga kini).
Pada kisaran tahun 1900-an Belanda membangun Sungai Molek, namun jauh sebelum itu sudah ada sungai luberan dari kali Brantas yang secara alami menjadi sungai alam yang melintasi suatu hamparan tanah. Sungai luberan itu mengering bila Kali Brantas surut, dan akan kembali mengalir apabila Kali Brantas banjir. Hamparan tanah yang teraliri luberan Kali Brantas tersebut dimanfaatkan oleh penduduk setempat menjadi sawah, namun hanya dapat ditanami Padi apabila musim hujan tiba, sedang pada musim kemarau sawah tersebut dibiarkan bero (tidak ditanami) karena kondisi tanahnya kering kerontang, oleh karena itu penduduk setempat menyebutnya dengan sebutan “Sawah Beran”. Dengan kata lain kala itu sawah Beran dalam setahun hanya bisa ditanami 1 kali saja.
Suatu ketika terpikir oleh penduduk, bahwa untuk meningkatkan produksi padi diupayakan sawah Beran dapat ditanami padi sebanyak 2 kali dalam setahun. Oleh karena itu kondisi sawah beran pada musim kemarau harus bisa mendapat air, apabila tidak maka sawah Beran hanya dapat ditanami padi sekali dalam setahun. Untuk mewujudkan hal itu jalan yang harus ditempuh adalah membendung Kali Brantas dan mengalirkan airnya ke Sawah. Maka perencanaan pun dimulai  diawali dengan meneliti tempat yang akan dibendung dan ditetapkan bahwa lokasi yang akan dibendung adalah tempat yang saat ini menjadi Dam mblobo. Konstruksi bendungan saat itu sangat sederhana, terdiri dari batangan balok kayu jati berukuran besar, ditata sedemikian rupa sehingga menjadi Dam yang dapat membendung  tekanan air sungai Brantas dan menaikkan permukaan air sungai sehingga meluber masuk ke alur aliran kali luberan dan airnya mengalir ke sawah Beran. Namun sangat disayangkan bahwa pada saat musim penghujan tiba Dam kayu itu selalu tidak mampu menahan derasnya air sehingga ambrol, dan kayu-kayunya hanyut terbawa arus. Para petani pun sibuk merambang kembali kayu yang hanyut untuk  dipasang kembali menjadi Dam, namun untuk memasangnya harus menunggu sampai musim kemarau tiba.
Diceritakan bahwa bila kayu-kayu itu terbawa banjir, baru bisa ditangkap kembali di daerah sengguruh. Untuk membawa kayu-kayu itu dari Sengguruh menuju Dam mBlobo dengan cara ditarik berpasang-pasang ekor lembu atau Kerbau. Begitu secara rutin terus menerus kegiatan itu dilakukan menjadi agenda tahunan turun temurun yang dilakukan oleh petani sawah beran. Perkembangan selanjutnya karena air cukup melimpah, maka pengairan kali luberan tersebut  juga digunakan untuk mengairi sawah di bagian selatan dengan area yang cukup luas, mencakup sampai Dusun Sanggrahan hingga ke selatan.
Pada tahun 1850 menurut sejarah, Indonesia tidak lagi dikuasai oleh VOC, karena setelah perang Diponegoro VOC mengalami kebangkrutan  dan bubar, tetapi jajahan beralih ke Pemerintah Belanda. Rupanya pemerintah Hindia Belanda tanggap terhadap adanya potensi yang sangat besar dalam bidang pertanian utamanya di daerah sekitar aliran Sungai Brantas. Dam kayu mBlobo mendapat perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Setelah melalui penelian yang serius, seperti telah diutarakan di atas, pada kisaran tahun 1900-an dibangunlah saluran irigasi teknis yang dinamakan sungai Molek, sungai ini merupakan pengembangan kali luberan sawah beran. Pembangunan Sungai Molek ini secara besar-besaran menembus sampai jauh kearah barat hingga area pertanian Lembupeteng Karangkates. Dengan pembangunan ini banyak pendatang dari luar daerah ngelurug boro kerja ke tempat ini.
Pembangunan Kali molek ini bukanlah atas kebaikan Pemerintah Belanda kepada rakyat pribumi agar kondisi tanah menjadi subur dan rakyat menjadi makmur. Namanya penjajah, pasti tidak ingin rugi, apalagi berbaik hati dengan cuma-cuma membangun irigasi tehnis yang memerlukan biaya yang sangat besar. Dalam pikiran bangsa penjajah selalu berupaya mengeruk hasil sebanyak-banyaknya dari tanah jajahannya.  Rupanya strategi telah disiapkan dengan cara menetapkan aturan tanah gogol, di mana semua sawah yang teraliri irigasi teknis ditetapkan statusnya menjadi tanah Gogol. Tanah Gogol adalah tanah milik Pemerintah Hindia Belanda, tanah gogol tidak dapat dijual belikan, sedang petani dikatagorikan sebagai penggarapnya, setiap penggarap tanah Gogol akan mendapatkan Kikitir (Petok D) yang di situ tercantum nama penggarapnya. Pajak yang dikenakan pada tanah gogol sangat tinggi, sehingga sering terjadi pengemban garapan tanah gogol tidak kuat membayar pajaknya dan ujung-ujungnya tanah dikembalikan ke pemerintah Hindia Belanda melalui pemerintah desa. Demikian pula para petani Sawah Beran, mereka yang sebelum dibangunnya sungai Molek bebas menikmati hasil panennya tanpa dibebani pajak yang memberatkan, sejak dibangunnya irigasi sungai Molek, dipaksa harus mendapat pengenaan pajak yang sangat memberatkan.
Adanya ketentuan tanah gogol ini rakyat merasa sangat tercekik, maka tak heran setiap tahunnya selalu saja ada rakyat yang mengembalikan tanah gogolannya. Cara mengembalikan maupun mendapatkan tanah gogolanpun prosesnya sangat mudah, setiap tahun sehabis panen para orang gogol diudang rapat desa. Di dalam rapat desa itu agendanya adalah membayar pajak sawah gogol, membayar urunan desa untuk melaksakan bersih desa dan juga menampung dan melaksanakan usulan bila ada petani yang bermaksud mengembalikan tanah gogol yang menjadi tanggungannya serta mencari siapa yang bersedia menampung tanah gogol yang baru dilepas. Prosesnya sederhana, hanya dicatat siapa yang melepas dan siapa yang menerima kemudian diusulkan untuk mendapat petok D (kikitir).

Sumber Cerita dan Daftar Pustaka  :
  1. Mbah Mustari Alm, mantan Kamituwo Dusun Ketanen, lahir tahun 1912;
  2. Mbah H.Mada’I Alm, mantan Modin Penarukan, Lahir tahun 1917;
  3. Mbah Supar Alm, mantan Kuwowo Penarukan Lahir tahun 1927 ;
  4. Drs.Bayu Surianingrat, 1985, Pemerintahan Administrasi Desa Kelurahan,Aksara Baru, Jakarta     

Keterangan tentang penulisan:
Cerita ini didapatkan penulis pada tahun 1981 saat para nara sumber masih hidup, kini mereka telah lama meninggal dunia, semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan YME, diampuni segala dosanya, dan segala amalnya diterima Allah SWT sebagai amal yang sholeh, amiin.. Beruntung penulis masih ingat cerita beliau-beliau ini. Untuk lebih menjamin keakuratan cerita, penulis sengaja menyelaraskan cerita dengan kondisi lapangan dan dipadu dengan kajian pustaka.

Penarukan, 23 Maret 2017
Penyunting dan penyelaras cerita
Denmbahbei






Rabu, 22 Maret 2017

18 alasan kuat Kel.Penarukan Panjen adalah Kutaraja Tumapel

18 ALASAN KUTARAJA TUMAPEL TERLETAK DI KELURAHAN PENARUKAN KEPANJEN
  1. Hingga saat ini letak Kutaraja Kerajaan Tumapel seperti hilang ditelan bumi, tidak terdapat tanda-tanda pasti di mana letaknya.
  2. Demikian pula dengan Candi pendarmaan Ken Arok yang konon terletak di Kagenengan, hingga kini juga belum terkuak di mana letaknya.
  3. Ada kemungkinan Kutaraja dan Candi pendarmaan Ken Arok itu berada dalam satu lingkup sebuah kawasan.
  4. Kagenengan adalah kosa kata dari tergenang.
  5. Nama Kagenengan muncul setelah adanya suatu daerah yang tergenang.
  6. Daerah yang tergenang (Kagenengan) itu tempat di mana candi pendarmaan Ken Arok berada.
  7. Di suatu tempat dalam wilayah perbatasan antara Kelurahan Penarukan dan Desa Kedungpedaringan Kecamatan Kepanjen terdapat suatu kawasan bekas genangan aliran air Sungai Brantas yang sangat lebar seperti bekas aliran banjir yang bekasnya masih dapat dilihat hingga sekarang.
  8. Kawasan itu seluas lebih kurang 10 Ha. berada di tepian kali Brantas .
  9. Di dalam kawasan itu ada Candi yang masih utuh terpendam dalam tanah yang belum dipublikasikan, hanya beberapa orang saja yang tahu, termasuk penulis.
  10. Di dekat Candi terpendam itu terdapat sumber air dan Goa pertapaan tersembunyi berukuran lebih kurang 3 m3 yang menjadi Punden Desa Penarukan.
  11. Di sekitar Candi itu juga sering ditemukan artefak-artefak kuno.
  12. Pada jaman dulu lalulintas perhubungan manusia masih lazim melalui alur sungai.
  13. Jika menilik kitab Pararaton, nama-nama desa yang disebut di dalamnya, seperti : Segenggeng, Lulumbang, Tugaran terletak ditepi kali.
  14. Kawasan tergenang yang didalamnya terdapat Candi terpendam itu berada di tengah-tengah segitiga emas ke tiga desa itu.
  15. Sangat patut diduga kawasan tergenang itu adalah Kutaraja Tumapel yang juga Kagenengan tempat Candi pendarmaan Ken Arok.
  16. Kawasan tepi Kali Brantas di Kelurahan Penarukan yang biasa disebut blok Beranan (tegal Beranan) sangat patut diduga dulunya adalah Kutaraja Tumapel.
  17. Hingga kini kawasan ini masih perawan, belum pernah diteliti oleh Arkeolog manapun.
  18. Berani bersumpah penulis pernah melihat dengan mata kepala sendiri tentang keberadaan Candi terpendam ditempat ini. (No HP ku : 081393873593 Hery Wahyudi,SH,MM)  


Penarukan, 22 Maret 2017
Denmbahbei.

Jumat, 10 Maret 2017

BERMAKSUD MENGGALI SEJARAH PENARUKAN TERKUAK MISTERI KAGENENGAN ?






SEJARAH KAMPUNG DUNGULAN ( PENARUKAN JAMAN KUNO )
Sejarah ini dituturkan oleh mendiang Kamituwo Ketanen (mbah Mustari), yang pernah hidup pada tahun 1912-1997. Adalah seorang Pamong Desa Kamituwo Dusun Ketanen/Tanen Desa Penarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jatim, menjabat Kamituwo sejak tahun 1936-1989. Pada tahun 1984, bercerita kepada penulis mengenai sejarah Penarukan. Menurut keterangannya cerita ini didapat dari kakek buyutnya.
Disebutkan bahwa Dusun Tanen dahulu kala disebut orang dengan nama Kampung Ledok, hal ini disebabkan karena kondisi topografi alamnya dibanding dengan kampong sekitarnya cukup rendah ledok. Diceritakan bahwa konon dahulu kala bila ada pagelaran kesenian Wayang Kulit atau keramaian lainnya, suaranya tidak terdengar sampai di luar kampong ledok, hal ini disebabkan karena kampung ini berada di dalam ledokan, oleh karena itu kampong ledok disebut juga kampong pendem, karena dari kampong ini tidak pernah didengar suara keramaian (seperti kampong terbenam), maka kampong ini disebut Kampung Pendem. Sedangkan nama Ketanen/Tanen itu karena penduduknya adalah orang-orang Tani.
Adapun Desa Penarukan dulunya bernama “Dungulan”, nama ini berasal dari adanya kejadian luar biasa yaitu adanya Kedung yang terjadi hanya dalam kurun waktu sebulan lamanya, namun tidak diceritakan bagaimana proses terjadinya kedung itu dan tidak dijelaskan di mana letaknya. Demikianlah yang diceritakan oleh mbah Mustari tersebut. Cerita ini diceriterakan dari mulut ke mulut oleh orang Tanen maupun Penarukan secara gethok tular lintas generasi, namun cerita itu kini menjadi sangat langka karena sudah tidak lagi ditemukan ada orang Tanen maupun Penarukan yang mendengar cerita ini. Kiranya adalah suatu berkah besar karena penulis menemukan cerita ini dan masih teringat cerita ini, berikutnya dengan segala keterbatasan yang ada penulis berupaya mengabadikan cerita ini dan berupaya menggali sejarah cerita ini gerangan apa sebenarnya yang terjadi.

MENELUSURI ASAL NAMA DESA PENARUKAN

Menurut cerita sejarah Desa Penarukan, nama Penarukan itu lahir didasari dari awal adanya pembangunan sungai molek diperkirakan antara tahun 1888-1900-an. Pembangunan sungai molek itu merupakan proyek besar yang sudah tentu banyak menyedot tenaga kerja. Di lokasi pembangunan sungai molek itu banyak berdatangan tenaga kerja dari berbagai daerah sehingga tempat yang dulunya bernama Dungulan itu dinamakan Palurugan (tempat orang-orang boro bekerja). Para pendatang itu kebanyakan dari Jawa tengah. Dari penelusuran penulis ternyata di Jawa Tengah didapati adanya sebuah desa bernama Penarukan, yaitu terletak di Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Adanya fakta itu sangat kuat dugaan bahwa orang-orang dari Desa Penarukan inilah yang banyak berdatangan nglurug berkerja ditempat yang dulunya disebut Dungulan ini. Setelah pembangunan sungai molek selesai, Dungulan yang dulunya kering dan tandus, berubah menjadi lahan pertanian yang sangat subur, ini terjadi  karena adanya system irigasi teknis sangat memadai yang hingga kini masih dirasakan. Sebagai dampaknya semakin banyak pendatang dari luar daerah yang mengadu untung ditempat ini, termasuk banyak ex pekerja pembangunan sungai Molek yang menetap di sini, kawin dengan warga setempat dan beranak pinak. Karena banyaknya orang-orang dari Desa Penarukan Jawa Tengah ini yang menetap, maka tempat itu disebut Kampung Penarukan, dan pada saat diadakan pembentukan desa (sekitar tahun 1906-1911), maka tempat yang tadinya disebut orang dengan nama Dungulan itu menjadi Desa Penarukan.
Di dalam wilayah Desa Penarukan ini terdapat sebuah Kampung dan Dusun, yaitu Kampung Mentaraman dan Dusun Ketanen (Tanen). Dinamakan Kampung Mentaraman karena di dalam kampong tersebut banyak dihuni orang-orang yang berasal dari Mataram. Ada terdapat dua dugaan kehadiran orang-orang Mataram di Kampung ini, yaitu : Pertama, kehadiran orang Mataram di sini adalah pada masa pecahnya perang antara kerajaan brang wetan di bawah pimpinan Panji Pulangjiwo yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, melawan tentara Mataram di bawah Tumenggung Surontani yang akhirnya gugur tahun 1614 M dan dilanjutkan oleh Tumenggung Alap-alap. Panji Pulangjiwo akhirnya gugur karena taktik jebagan Tumenggung Alap-alap, dengan demikian Brang Wetan jatuh ketangan Mataram. Selanjutnya tentara Mataram mendirikan markas pertahanan di Kampung ini, mereka kawin dengan warga local dan beranak pinak, maka jadilah tempat ini disebut orang “Kampung Mentaraman”. Kedua pada saat pembangunan Kali Molek, banyak orang-orang dari Jawa Tengah dalam hal ini orang Mataram yang nglurugbekerja di tempat  ini, mereka berkelompok dalam satu kampong, kawin dengan warga local, beranak-pinak dan menetap di kampong ini, maka jadilah tempat ini disebut orang “Mentaraman”.

TERKUAKNYA NAMA DUSUN KETANEN/TANEN.

Menurut cerita kuno, Dusun Ketanen atau Tanen itu dulunya bernama Ledok atau Pendem, dari penulusuran penulis berubahnya nama Kampung Ledok atau Pendem menjadi Ketanen atau Tanen itu terjadi karena adanya urbanisasi besar-besar dari penduduk Tulungagung ke wilayah Malang Selatan, hal ini terjadi sebagai akibat bencana banjir besar yang melanda wilayah Kabupaten Tulungagung. Dan Kampong Pendem menjadi tempat berpindahnya orang-orang dari Desa Ketanon dan Desa Tanen Kabupaten Tulungagung. Mereka menetap dan kawin dengan warga local, beranak-pinak. Karena banyaknya orang-orang dari Ketanon dan Tanen yang tinggal di situ maka kampong yang dulunya bernama Ledok atau Pendem lambat laun disebut orang menjadi Kampung Ketanon dan banyak orang yang menyebut Kampung “Tanen”. Tetapi sejak berdirinya Desa Penarukan maka kampong ini menjadi Dusun “Ketanen”.

TERKUAKNYA MISTERI LOKASI KAGENENGAN

Bermula dari rasa keingintahuan penulis mengenai misteri cerita sejarah Desa Penarukan yang sebenarnya. Nama Desa Penarukan itu lahir setelah dibangunnya Sungai Molek pada sekitar tahun 1900-an pada hal jauh sebelum itu ada cerita nama Dungulan, kampong Ledok dan Kampung Pendem. Selain itu pada sekitar tahun 1960-an penulis pernah melihat dengan mata kepala sendiri adanya penemuan Candi terpendam yang lokasinya berada di dekat Sungai Brantas, arcanya sempat diluarkan dari lobang atap candi, batu-batunya dikembalikan pada posisi semula lalu diuruk kembali, dan arca itu dibeli kolektor benda purbakala bernama Ji Seng, rumahnya di Kepanjen. Juga ada sebuah goa tersembunyi yang disebut “Urung-urung” sebuah tempat pertapaan yang tersembunyi dalam aliran sumber air di pinggiran Kali Brantas tidak jauh dari lokasi Candi. Di samping itu tidak jauh dari lokasi Candi terpendam itu juga pernah ditemukan : uang gobog banyak se Cikar, Lempengan tembaga, perhiasan dari emas se ombyok banyaknya,dan artefak-artefak kuno lainnya. Sayangnya benda-benda kuno itu sudah tidak diketahui rimbanya, kini yang tinggal hanyalah kenangan pernah memegang perhiasan kuno berupa cincin kawin, yang waktu penulis coba memasukan ke jari manis ternyata kebesaran karena ukurannya sebesar Jempol kaki.  
Untuk menguak cerita sejarah itu penulis mulai menelusuri mbah Google mencari informasi sejarah dengan banyak membaca kitab-kitab sejarah seperti Pararaton, Negara Kertagama, cerita-cerita sejarah dan artikel-artikel sejarah yang berhubungan dengan sejarah Malang.
Dari cerita Kitab Pararaton didapat cerita adanya banjir besar dan Gunung meletus. Dari Kitab Negarakretagama didapat cerita pada pupuh 37-39. Dari cerita sejarah Kerajaan Jenggala didapat cerita adanya banjir besar yang sampai mengalihkan arah alur sungai Porong. Dari artikel-artikel bernuansa sejarah Malang para sejarawan sibuk mengidentifikasi lokasi Kagenengan di daerah Wagir dan Pakisaji tetapi hasilnya meragukan alias samar di mana menurut sejarahnya Kagenengan menjadi tempat persemayaman Ken Angrok dicandikan.  Kemudian pada artikel lainnya menyebut bahwa Kagenengan itu sama artinya dengan tempat yang tergenang. Dari penelusuran itu penulis jadi ingat keberadaan candi terpendam itu yang setelah penulis amati dengan seksama ternyata areal candi itu berada pada lokasi bekas genangan banjir sungai Brantas yang hingga kini masih bisa dilihat bekasnya baik melalui udara maupun lewat darat. Bekas genangan banjir itu kini menjadi hamparan sawah yang oleh warga disebut Sawah Beran. Bahkan dari bekas aliran banjir ini akhirnya mengungkap nama Dungulan, Kampung Ledok dan Kampung Pendem, juga nama desa tetangga Kedung Pedaringan. Kejelasan ini penulis dapat dari melihat lokasi melalui Google Map di situ dengan jelas bekas aliran banjir itu mengalir ke kampong Ledok yang sangat dimungkinkan membentuk suatu Kedung yang terjadinya hanya se bulan (Dungulan), selanjutnya aliran banjir itu terus mengalir mencari tempat yang rendah dan masuk ke sungai petung dan jadilah suatu kedung yang dinamakan orang Kedungpedaringan. Dan kampong Ledok yang tergenang banjir itu satu bulan kemudian lumpurnya mengering dan jadilah Kampung Pendem.
Bila benar bahwa Kagenengan itu adalah tempat ini dan candi itu adalah tempat perabuan Ken Angrok, benarkah Desa Penarukan yang kini jadi kelurahan itu dulunya adalah Kutaraja yang kini letak persisnya sedang dicari-cari oleh para sejarawan-wati ? Untuk mencari jawabnya, gali dulu candinya, InsyaAllah akan didapat cerita sejarah baru yang signifikan, bahkan tidak menutup kemungkinan dapat merubah cerita sejarah yang sudah ada. Cerita ini bukan mengada-ada tetapi faktanya memang nyata dan ada. Fakta lainnya adalah kini Kantor Bupati Malang berada di Penarukan, adakah ini merupakan naluri sejarah yang menembus dimensi sejarah, hanya Tuhan yang maha tahu.
  1. Lokasi Candi yang terpendam berada di hamparan tegalan milik P. Lahuri
  2. <iframe src="https://embed.waze.com/iframe?zoom=17&lat=-8.137260&lon=112.586401&ct=livemap" width="600" height="450" allowfullscreen></iframe>
Denmbahbei, 
Penarukan 11 Maret 2017

Kamis, 09 Februari 2017

PETINGGI PENARUKAN BIYEN



NAMA-NAMA ORANG YANG PERNAH MENJADI KEPALA DESA PENARUKAN
No.
NAMA
MENJABAT TAHUN
KETERANGAN
1.
P. NGAIPAH
1911-1932
Konon menurut cerita, P.Ngaipah adalah orang cukup disegani, karena itu meskipun buta huruf  karena kewibawaannya ia diangkat menjadi Kepala Desa. Ia merupakan Kepala Desa ARIS. Ada suatu cerita  yang pernah dituturkan oleh salah seorang Pamong Desa, bahwa ia diberhentikan sebagai Kepala Desa karena kasus pajak. Pamong tersebut juga bertutur kata bahwa: Maklum P.Ngaipah adalah orang buta huruf, oleh karena itu kasus tersebut kemungkinan karena rekayasa dari Cariknya.
2.
SINGOSETRO
1933-1944
Sebelumnya adalah Cariknya P.Ngaipah. Ia diangkat menjadi Kepala Desa setelah P.Ngaipah diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Desa.
3.

P. Sarimo
1942-1945
Masa penjajahan Jepang
3.
ABDUL MANAN
1945-1946
Sebelumnya adalah Carik, ia diangkat menjadi Kepala Desa menggantikan SINGOSETRO
4.
TIRTOREJO
1947-1948

5.
HARI POERNOMO
1948-1950
Alamat : RT.01 RW.01 
6.
MOH. DJAUZAN
1951-1965
Ia berhenti karena menghilang saat peristiwa G-30-S / PKI tahun 1965.
7.
MUSTARI  (pjs)
1965-1966
Adalah seorang Kamituwo Dukuh Ketanen.
Semasa menjadi Pjs. Ia menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa, tetapi ditengah-tengah pelaksanaan pemilihan dihentikan oleh Muspika karena penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa tersebut tidak mendapat ijin dari Bupati.
8.
SOEPRAPTO (Carteker)
1967-1968
Ditugaskan untuk mengisi adanya kekosongan Kepala Desa.
9.
SAIDI (Carteker)
1969-1973
Mengganti Carteker P.Soeprapto.  P.Saidi adalah Anggota Koramil Kepanjen berpangkat Peltu. Tahun 1973 ikut maju dalam pemilihan Kepala Desa Definif.
10.
SAIDI (Defiitif)
1973-1980
P.Saidi menang dalam Pemilihan Kepala Desa yang diadakan tahun 1973. Pemilihan diikuti 4 (empat) jago,yakni :
1.       Mahmud Misbah (alamat : RT.1 RW 1 Kauman Penarukan).
2.       Sanasir. (Alamat : RT.3 RW.2 Timur PR. Insan Penarukan)
3.       Alimud Dopo (Alamat : RT.1 RW.3 Dempet rumah P.Djauzan)
4.       SAIDI. (Alamat : RTY.1 RW.3 Kampung Tengah Penarukan)
11.
SAIDI (Kelurahan)
1981-1985
Tanggal 1 Januari 1981Desa Penarukan berubah status menjadi Kelurahan, Pamong Desanya diangkat langsung menjadi PNS. Dari 11 Pamong Desa yang ada yang berhak diangkat adalah 1 (satu) orang per masing-masing jabatan. Adapun jabatan yang ada adalah:
Kepala Desa = 1 (an. P.Saidi)
Carik              = 1 (an. Hery Wahyudi)
Kamituwo    = 1 (an. Mustari kamituwo Ketanen)
Kepetengan = 1 (an. Radjab Kepetengan II Krajan)
Kebayan        = 1 (an.Matkalil Kebayan Ketanen)
Kuwowo       = 1 ( an. Supardi P. Supar )
Modin        =1 ( an. P.Mada’i / H. Muzamil)
Catatan :
Saat itu terdapat jabatan Pamong yang ganda,yaitu :
Ø  Kamituwo ada 2 (dua), yakni : Kamituwo Krajan dan Kamituwo Ketanen.
Ø  Kepetengan ada 3 (tiga), yakni : Kepetengan I & Kepetengan II Krajan, Kepetengan Ketanen.
Ø  Kebayan ada 3 (tiga), yakni : Kebayan I & Kebayan II Krajan, Kebayan Ketanen.

P.Saidi tidak bersedia diangkat menjadi PNS karena yang bersangkutan adalah Purnawirawan ABRI.
Kamituwo Mustari dan Modin Madai, diangkat PNS satu bulan kemudian langsung pensiun karena usianya telah melampaui batas usia pensiun.
Kepetengan Radjab dan Kebayan Matkalil , SK. PNS tidak turun, setahun kemudian berkas pengajuan pengangkatan turun balik dan baru diketahui kenapa SK.PNS tidak turun, ternyata dalam berkas tersebut terselip berkas pernyataan TIDAK BERSEDIA DIANGKAT MENJADI PNS yang mereka tanda tangani. Berkas tersebut semestinya diperuntukkan  bagi pamong yang berstatus Purnawirawan. Kemudian berkas diperbaiki dan dinaikkan kembali, tapi sayang untuk selanjutnya tidak ada kabar beritanya karena SK PNS yang mereka tunggu-tungu tidak kunjung turun .
Pada akhirnya Perangkat Kelurahan PNS yang ada di Kelurahan Penarukan tinggal 2 (dua) orang, yaitu :Hery Wahyudi (Carik) dan Supardi (Kuwowo).
P.SupardiPensiun tahun 1988 dan Carik Hery Wahyudi pindahke Kantor Pembantu Bupati di Kepanjen.