Minggu, 16 Agustus 2020

KEARIFAN LOKAL SEJARAH PERJUANGAN KEMERDEKAAN RI

SISI LAIN SEJARAH PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN RI

Hari ini kita sebagai anak bangsa sedang merayakan peringatan HUTRI ke 75 kita semua tahu itu. Banyak cerita-2 skala nasional mengenai kisah perjuangan merebut kemerdekaan,  tetapi tahukah anda bahwa banyak juga kisah sedih yang terjadi dalam rangka perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru diplokamirkan itu tak pernah diungkapkan?

Dalam hal ini dikisahkan kearifan local yang menceritakan sebuah kisah nyata tentang gugurnya dua orang pejuang sebagai korban kerakusan teman sekampung beda kelompok yang sangat disayangkan dimana tak semestinya hal ini terjadi.

Kisah nyata ini terjadi pada tahun 1948 saat agresi Belanda ke II, di mana Pakisaji menjadi garis batas Demargasi antara pejuang Rublik Indonesia dengan Belanda yang  ingin kembali mencengkeram menguasai Republik Indonesia.  Agresi Belanda ini mendapat perlawanan dari pemuda-2 RI.

Syah dan perlawanan itu juga dilakukan oleh pemuda-2 Penarukan. Meskipun sama-sama menentang Belanda tetapi sebenarnya dikalangan internal kelompok-2 pemuda pejuang ini ada saling pertentangan atau ada persaingan tidak sehat diantara kelompok satu dengan kelompok lainya.

Tersebutlah ada dua orang pemuda pejuang bernama Moh. Bakhri bin Moh. Riduwan dan Krisnu bin P. Puah. Dua orang  ini tergabung dalam Laskar Hisbullah. Dua orang pemuda ini suatu ketika mendapat hibah mesin ketik dari Ibu R.A. Sri Rukmini (den Sri) atau biasa di panggil Yang Dono. Disebut demikian karena beliau adalah isteri Wedono Pulau Sapudi Madura yang mati karena diculik Jepang di masa penjajah Jepang. Semasa hidupnya memiliki sebuah mesin ketik. Sepeninggal pak Wedono, keberadaan mesin ketik itu tak terpakai dan disimpan dirumah Den Sri (Eyang Dono), antara Den Sri dengan Krisnu ada hubungan yang baik, karena keduanya bertetangga. Mendiang Pak Dono adalah sahabat dekat dari P. Puah seorang Kebayan Desa Penarukan (ayah dari Krisnu). Dari kedekatan itu Krisnu memohon kepada Den Sri agar dapatnya menghibahkan mesin ketik itu untuk dipakai sebagai alat perjuangan, dan permohonan itu disetujui oleh Den Sri, mesin Tik pun diserahkan kepada Krisnu dan Moh. Bakri. Kabar adanya pemberian mesin tik itu terdengar oleh kelompok pejuang lainya, hal ini menimbulkan rasa iri , maklumlah karena kala itu Mesin Tik adalah barang yang sangat berharga.  

Tanpa ada maksud curang atau untuk maksud tak terpuji lainnya, Krisnu dan Bakhri Krisnu dan Bakhri bermaksud menyerahkan mesin tik itu kepada komandan perjuangan yang ada digaris depan yaitu  garis pemisah (Demargasi) antara wilayah yang dikuasai Belanda dan wilayah yang dikuasai RI. Garis Demargasi itu berada di Kendalpayak. Keduanya membawa mesin tik itu menuju Pos Komando  Tentara Perjuangan di Kendalpayak. Tetapi ditengah perjalanan langkah keduanya dicegat oleh kelompok pemuda pejuang lainya yang tergabung dalam kelompok anak muda yang suka menghalalkan segala cara misalnya merampok, maling, begal, memeras, merampas. Mesin Tik yang dibawa kedua anak muda anggota Laskar Hisbullah tersebut dirampas, Krisnu dan Moh Bakri diamankan disuatu tempat yang dirahasiakan, malam harinya kedua pejuang itu digiring menuju Jembatan Kedung Pedaringan. Perjalanan menuju Jembatan Kedung Pedaringan itu melewati Dukuh Ketanen. Selanjutnya sesampainya di Jembatan Kedung keduanya digiring menuju ke bawah jembatan untuk dieksekusi dengan jalan ditembak mati. Sebelum diekseksi salah seorang diantaranya mengajukan permohonan terakhir  untuk diijinkan melakukan sholat. Setelah keduanya selesai melakukan sholat, dengan gagah berani membuka baju, dengan telanjang dada siap menerima eksekusi, dari bibir keduanya tak henti-hentinya terucap dua kalimat shahadat dan takbir, melihat ketatagkan keduanya para penculik pada grogi menjalankan eksekusi, mereka saling tunjuk tidak ada yang berani melaksanakan, sampai akhirnya anggota penculik yang paling muda yang ditekan teman-2 nya  untuk melakukan eksekusi itu dan dor  !! dor !! … gugurlah dua orang anggota Laskar Hisbullah  tersebut dan jasadnya dilarung di sungai Brantas. kematian kedua pejuang ini sangat dirahasiakan tentang siapa pelakunya, dimana eksekusinya, bahkan pihak kelompok penculik membangun opini buruk dengan menebar cerita bila Krisnu dan Moh. Bachri mencuri mesin tik dan akan menjualnya ke Malang lalu uang hasil penjualannya untuk memperkaya diri. Akibat cerita ini para teman maupun sanak saudara kedua anggota laskar mujahidin itu merasa malu untuk mengungkapnya.

Cerita nyata ini baru terungkap dengan gamblang ketika menjelang akhir hidupnya (tua dan sakit-sakitan) salah seorang anggota penculik berinisial AA itu mengakui hal yang sebenarnya terjadi (bloko suto) kepada adik kandung dari Krisnu, sekaligus memohon maaf atas segala perbuatan yang telah dilakukan tersebut.

Siapakah kedua pejuang yang gugur itu ?

1.       Krisnu, masih bujangan, anak seorang Kebayan Desa bernama pak Puah, beliau berjuang sukarela, bahkan untuk membiayai perjuangannya diberi modal ayahnya dijualkan seekor sapi, dan dipesan oleh ayahnya agar dalam perjuangannya jangan sampai berbuat tak terpuji , misalnya memeras orang, maling, begal, merampok untuk memperkaya diri, bila kehabisan dana agar omong ke ayahnya akan dijualkan sapi atau tanah.

2.       Moh. Bachri, beristri dan memiliki dua orang anak perempuan yang masih balita bernama Solikhah dan Rustin. Beliau adalah anak seorang alim kampung yang taat beribadah bernama Moh.Riduan biasa dipanggil wak Maduwan, beristeri Arba’inah biasa dipanggil mak nyik Bak.

Moh.Bachri adalah anak  tertua dari 7 (tujuh) orang bersaudara.

Bagaimanakah cerita keluarga yang ditinggalkan ?

Kedua  orangtua dari keduanya saat itu kebingungan mencari anaknya, mereka hanya bisa pasrah.

Sebagai seorang Pamong Desa (Kebayan), Pak Puah akhirnya mengetahui kalau anaknya (Krisnu) telah meninggal namun tidak tau dimana kuburnya dan siapa pembunuhnya.

Untuk wak Maduwan memdapat firasat kalau anaknya telah mati didapat melalui mimpi, dalam mimpinya melihat Bachri tanpa memakai baju nyadong dengan membawa takir kosong sambil jongkok di depan pintu rumah di sebelah kanan, sedangkan mak nyik Bak bermimpi melihat batang Jagung dan Padi dipojok selatan (kira-kira arah dimana jembatan Kedung berada). Dari firasat mimpi itu beliau menyimpulkan bila Bachri anaknya telah meninggal dunia, oleh karena itu dikirimlah doa dan bacaan tahlil. Setelah dadakan tahlil itu mimpi berikutnya melihat Bachri berakaian rapi dan  tampak ganteng sekali.

Bagaimana dengan nasib kedua anak Bachri (Solikhah dan Rustin) ?

Sejak bayi Sholikah di emong Mak Siti dan Pak Jan (seorang Pamong Desa), pada sekitar tahun 1955 dalam usai 13 tahun, Solikhah ikut mbah Matduwan dan Mak Nyik Bak. Demikian juga  dengan Rustin, pada tahun yang sama dalam usia 10 tahun juga mengikuti jejak Solikhah.

Pada saat mengikuti kakek neneknya yang saat itu mempunyai usaha Penatu, membuat krupuk sarmadan, dan membuat kuwe Wingko & Apem iris, kedua gadis cilik itu rajin membantu membuat jajan. Kedua gadis cilik itu jam 03 dini hari sudah bangun pagi, dalam gelapnya dini hari kedua gadis cilik itu berangkat mengantar kuwe Wingko dan Apem iris ke warung-2 sepanjang jalan penarukan sampai depan pasar Panjen.

Kiranya sampai disini dulu cerita, lain kesempatan bisa dilanjut lagi.

Penarukan, 17 Agustus 2020

Wassalam ,

Den Jey alias Den Mbah Bei