Kamis, 23 Maret 2017

Sejarah Sawah Beran dan Tanah Gogol di Desa Penarukan Kepanjen (Cikal Bakal dibangunnya Kali Molek)

(Suatu Kisah Cerita Sejarah tentang awal mula dibangunnya Sungai Molek) 
Dahulu kala tanah tegal Beran itu menyatu dengan tanah Kampung yang ada di sebelah baratnya (berada dalam satu hamparan). Diduga setelah diterjadi banjir besar yang melanda Sungai Brantas hingga airnya meluber menerjang hamparan itu, maka hamparan tanah itu terpisah menjadi dua yaitu Tegal Beran dan kampong Tengah. Sedangkan luberan banjir yang memutus hamparan itu menjadi sungai yang lebar tetapi dangkal (bekas tepian tanah yang tergerus sungai luberan banjir itu masih dapat dilihat hingga kini).
Pada kisaran tahun 1900-an Belanda membangun Sungai Molek, namun jauh sebelum itu sudah ada sungai luberan dari kali Brantas yang secara alami menjadi sungai alam yang melintasi suatu hamparan tanah. Sungai luberan itu mengering bila Kali Brantas surut, dan akan kembali mengalir apabila Kali Brantas banjir. Hamparan tanah yang teraliri luberan Kali Brantas tersebut dimanfaatkan oleh penduduk setempat menjadi sawah, namun hanya dapat ditanami Padi apabila musim hujan tiba, sedang pada musim kemarau sawah tersebut dibiarkan bero (tidak ditanami) karena kondisi tanahnya kering kerontang, oleh karena itu penduduk setempat menyebutnya dengan sebutan “Sawah Beran”. Dengan kata lain kala itu sawah Beran dalam setahun hanya bisa ditanami 1 kali saja.
Suatu ketika terpikir oleh penduduk, bahwa untuk meningkatkan produksi padi diupayakan sawah Beran dapat ditanami padi sebanyak 2 kali dalam setahun. Oleh karena itu kondisi sawah beran pada musim kemarau harus bisa mendapat air, apabila tidak maka sawah Beran hanya dapat ditanami padi sekali dalam setahun. Untuk mewujudkan hal itu jalan yang harus ditempuh adalah membendung Kali Brantas dan mengalirkan airnya ke Sawah. Maka perencanaan pun dimulai  diawali dengan meneliti tempat yang akan dibendung dan ditetapkan bahwa lokasi yang akan dibendung adalah tempat yang saat ini menjadi Dam mblobo. Konstruksi bendungan saat itu sangat sederhana, terdiri dari batangan balok kayu jati berukuran besar, ditata sedemikian rupa sehingga menjadi Dam yang dapat membendung  tekanan air sungai Brantas dan menaikkan permukaan air sungai sehingga meluber masuk ke alur aliran kali luberan dan airnya mengalir ke sawah Beran. Namun sangat disayangkan bahwa pada saat musim penghujan tiba Dam kayu itu selalu tidak mampu menahan derasnya air sehingga ambrol, dan kayu-kayunya hanyut terbawa arus. Para petani pun sibuk merambang kembali kayu yang hanyut untuk  dipasang kembali menjadi Dam, namun untuk memasangnya harus menunggu sampai musim kemarau tiba.
Diceritakan bahwa bila kayu-kayu itu terbawa banjir, baru bisa ditangkap kembali di daerah sengguruh. Untuk membawa kayu-kayu itu dari Sengguruh menuju Dam mBlobo dengan cara ditarik berpasang-pasang ekor lembu atau Kerbau. Begitu secara rutin terus menerus kegiatan itu dilakukan menjadi agenda tahunan turun temurun yang dilakukan oleh petani sawah beran. Perkembangan selanjutnya karena air cukup melimpah, maka pengairan kali luberan tersebut  juga digunakan untuk mengairi sawah di bagian selatan dengan area yang cukup luas, mencakup sampai Dusun Sanggrahan hingga ke selatan.
Pada tahun 1850 menurut sejarah, Indonesia tidak lagi dikuasai oleh VOC, karena setelah perang Diponegoro VOC mengalami kebangkrutan  dan bubar, tetapi jajahan beralih ke Pemerintah Belanda. Rupanya pemerintah Hindia Belanda tanggap terhadap adanya potensi yang sangat besar dalam bidang pertanian utamanya di daerah sekitar aliran Sungai Brantas. Dam kayu mBlobo mendapat perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Setelah melalui penelian yang serius, seperti telah diutarakan di atas, pada kisaran tahun 1900-an dibangunlah saluran irigasi teknis yang dinamakan sungai Molek, sungai ini merupakan pengembangan kali luberan sawah beran. Pembangunan Sungai Molek ini secara besar-besaran menembus sampai jauh kearah barat hingga area pertanian Lembupeteng Karangkates. Dengan pembangunan ini banyak pendatang dari luar daerah ngelurug boro kerja ke tempat ini.
Pembangunan Kali molek ini bukanlah atas kebaikan Pemerintah Belanda kepada rakyat pribumi agar kondisi tanah menjadi subur dan rakyat menjadi makmur. Namanya penjajah, pasti tidak ingin rugi, apalagi berbaik hati dengan cuma-cuma membangun irigasi tehnis yang memerlukan biaya yang sangat besar. Dalam pikiran bangsa penjajah selalu berupaya mengeruk hasil sebanyak-banyaknya dari tanah jajahannya.  Rupanya strategi telah disiapkan dengan cara menetapkan aturan tanah gogol, di mana semua sawah yang teraliri irigasi teknis ditetapkan statusnya menjadi tanah Gogol. Tanah Gogol adalah tanah milik Pemerintah Hindia Belanda, tanah gogol tidak dapat dijual belikan, sedang petani dikatagorikan sebagai penggarapnya, setiap penggarap tanah Gogol akan mendapatkan Kikitir (Petok D) yang di situ tercantum nama penggarapnya. Pajak yang dikenakan pada tanah gogol sangat tinggi, sehingga sering terjadi pengemban garapan tanah gogol tidak kuat membayar pajaknya dan ujung-ujungnya tanah dikembalikan ke pemerintah Hindia Belanda melalui pemerintah desa. Demikian pula para petani Sawah Beran, mereka yang sebelum dibangunnya sungai Molek bebas menikmati hasil panennya tanpa dibebani pajak yang memberatkan, sejak dibangunnya irigasi sungai Molek, dipaksa harus mendapat pengenaan pajak yang sangat memberatkan.
Adanya ketentuan tanah gogol ini rakyat merasa sangat tercekik, maka tak heran setiap tahunnya selalu saja ada rakyat yang mengembalikan tanah gogolannya. Cara mengembalikan maupun mendapatkan tanah gogolanpun prosesnya sangat mudah, setiap tahun sehabis panen para orang gogol diudang rapat desa. Di dalam rapat desa itu agendanya adalah membayar pajak sawah gogol, membayar urunan desa untuk melaksakan bersih desa dan juga menampung dan melaksanakan usulan bila ada petani yang bermaksud mengembalikan tanah gogol yang menjadi tanggungannya serta mencari siapa yang bersedia menampung tanah gogol yang baru dilepas. Prosesnya sederhana, hanya dicatat siapa yang melepas dan siapa yang menerima kemudian diusulkan untuk mendapat petok D (kikitir).

Sumber Cerita dan Daftar Pustaka  :
  1. Mbah Mustari Alm, mantan Kamituwo Dusun Ketanen, lahir tahun 1912;
  2. Mbah H.Mada’I Alm, mantan Modin Penarukan, Lahir tahun 1917;
  3. Mbah Supar Alm, mantan Kuwowo Penarukan Lahir tahun 1927 ;
  4. Drs.Bayu Surianingrat, 1985, Pemerintahan Administrasi Desa Kelurahan,Aksara Baru, Jakarta     

Keterangan tentang penulisan:
Cerita ini didapatkan penulis pada tahun 1981 saat para nara sumber masih hidup, kini mereka telah lama meninggal dunia, semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan YME, diampuni segala dosanya, dan segala amalnya diterima Allah SWT sebagai amal yang sholeh, amiin.. Beruntung penulis masih ingat cerita beliau-beliau ini. Untuk lebih menjamin keakuratan cerita, penulis sengaja menyelaraskan cerita dengan kondisi lapangan dan dipadu dengan kajian pustaka.

Penarukan, 23 Maret 2017
Penyunting dan penyelaras cerita
Denmbahbei






Rabu, 22 Maret 2017

18 alasan kuat Kel.Penarukan Panjen adalah Kutaraja Tumapel

18 ALASAN KUTARAJA TUMAPEL TERLETAK DI KELURAHAN PENARUKAN KEPANJEN
  1. Hingga saat ini letak Kutaraja Kerajaan Tumapel seperti hilang ditelan bumi, tidak terdapat tanda-tanda pasti di mana letaknya.
  2. Demikian pula dengan Candi pendarmaan Ken Arok yang konon terletak di Kagenengan, hingga kini juga belum terkuak di mana letaknya.
  3. Ada kemungkinan Kutaraja dan Candi pendarmaan Ken Arok itu berada dalam satu lingkup sebuah kawasan.
  4. Kagenengan adalah kosa kata dari tergenang.
  5. Nama Kagenengan muncul setelah adanya suatu daerah yang tergenang.
  6. Daerah yang tergenang (Kagenengan) itu tempat di mana candi pendarmaan Ken Arok berada.
  7. Di suatu tempat dalam wilayah perbatasan antara Kelurahan Penarukan dan Desa Kedungpedaringan Kecamatan Kepanjen terdapat suatu kawasan bekas genangan aliran air Sungai Brantas yang sangat lebar seperti bekas aliran banjir yang bekasnya masih dapat dilihat hingga sekarang.
  8. Kawasan itu seluas lebih kurang 10 Ha. berada di tepian kali Brantas .
  9. Di dalam kawasan itu ada Candi yang masih utuh terpendam dalam tanah yang belum dipublikasikan, hanya beberapa orang saja yang tahu, termasuk penulis.
  10. Di dekat Candi terpendam itu terdapat sumber air dan Goa pertapaan tersembunyi berukuran lebih kurang 3 m3 yang menjadi Punden Desa Penarukan.
  11. Di sekitar Candi itu juga sering ditemukan artefak-artefak kuno.
  12. Pada jaman dulu lalulintas perhubungan manusia masih lazim melalui alur sungai.
  13. Jika menilik kitab Pararaton, nama-nama desa yang disebut di dalamnya, seperti : Segenggeng, Lulumbang, Tugaran terletak ditepi kali.
  14. Kawasan tergenang yang didalamnya terdapat Candi terpendam itu berada di tengah-tengah segitiga emas ke tiga desa itu.
  15. Sangat patut diduga kawasan tergenang itu adalah Kutaraja Tumapel yang juga Kagenengan tempat Candi pendarmaan Ken Arok.
  16. Kawasan tepi Kali Brantas di Kelurahan Penarukan yang biasa disebut blok Beranan (tegal Beranan) sangat patut diduga dulunya adalah Kutaraja Tumapel.
  17. Hingga kini kawasan ini masih perawan, belum pernah diteliti oleh Arkeolog manapun.
  18. Berani bersumpah penulis pernah melihat dengan mata kepala sendiri tentang keberadaan Candi terpendam ditempat ini. (No HP ku : 081393873593 Hery Wahyudi,SH,MM)  


Penarukan, 22 Maret 2017
Denmbahbei.

Jumat, 10 Maret 2017

BERMAKSUD MENGGALI SEJARAH PENARUKAN TERKUAK MISTERI KAGENENGAN ?






SEJARAH KAMPUNG DUNGULAN ( PENARUKAN JAMAN KUNO )
Sejarah ini dituturkan oleh mendiang Kamituwo Ketanen (mbah Mustari), yang pernah hidup pada tahun 1912-1997. Adalah seorang Pamong Desa Kamituwo Dusun Ketanen/Tanen Desa Penarukan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jatim, menjabat Kamituwo sejak tahun 1936-1989. Pada tahun 1984, bercerita kepada penulis mengenai sejarah Penarukan. Menurut keterangannya cerita ini didapat dari kakek buyutnya.
Disebutkan bahwa Dusun Tanen dahulu kala disebut orang dengan nama Kampung Ledok, hal ini disebabkan karena kondisi topografi alamnya dibanding dengan kampong sekitarnya cukup rendah ledok. Diceritakan bahwa konon dahulu kala bila ada pagelaran kesenian Wayang Kulit atau keramaian lainnya, suaranya tidak terdengar sampai di luar kampong ledok, hal ini disebabkan karena kampung ini berada di dalam ledokan, oleh karena itu kampong ledok disebut juga kampong pendem, karena dari kampong ini tidak pernah didengar suara keramaian (seperti kampong terbenam), maka kampong ini disebut Kampung Pendem. Sedangkan nama Ketanen/Tanen itu karena penduduknya adalah orang-orang Tani.
Adapun Desa Penarukan dulunya bernama “Dungulan”, nama ini berasal dari adanya kejadian luar biasa yaitu adanya Kedung yang terjadi hanya dalam kurun waktu sebulan lamanya, namun tidak diceritakan bagaimana proses terjadinya kedung itu dan tidak dijelaskan di mana letaknya. Demikianlah yang diceritakan oleh mbah Mustari tersebut. Cerita ini diceriterakan dari mulut ke mulut oleh orang Tanen maupun Penarukan secara gethok tular lintas generasi, namun cerita itu kini menjadi sangat langka karena sudah tidak lagi ditemukan ada orang Tanen maupun Penarukan yang mendengar cerita ini. Kiranya adalah suatu berkah besar karena penulis menemukan cerita ini dan masih teringat cerita ini, berikutnya dengan segala keterbatasan yang ada penulis berupaya mengabadikan cerita ini dan berupaya menggali sejarah cerita ini gerangan apa sebenarnya yang terjadi.

MENELUSURI ASAL NAMA DESA PENARUKAN

Menurut cerita sejarah Desa Penarukan, nama Penarukan itu lahir didasari dari awal adanya pembangunan sungai molek diperkirakan antara tahun 1888-1900-an. Pembangunan sungai molek itu merupakan proyek besar yang sudah tentu banyak menyedot tenaga kerja. Di lokasi pembangunan sungai molek itu banyak berdatangan tenaga kerja dari berbagai daerah sehingga tempat yang dulunya bernama Dungulan itu dinamakan Palurugan (tempat orang-orang boro bekerja). Para pendatang itu kebanyakan dari Jawa tengah. Dari penelusuran penulis ternyata di Jawa Tengah didapati adanya sebuah desa bernama Penarukan, yaitu terletak di Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Adanya fakta itu sangat kuat dugaan bahwa orang-orang dari Desa Penarukan inilah yang banyak berdatangan nglurug berkerja ditempat yang dulunya disebut Dungulan ini. Setelah pembangunan sungai molek selesai, Dungulan yang dulunya kering dan tandus, berubah menjadi lahan pertanian yang sangat subur, ini terjadi  karena adanya system irigasi teknis sangat memadai yang hingga kini masih dirasakan. Sebagai dampaknya semakin banyak pendatang dari luar daerah yang mengadu untung ditempat ini, termasuk banyak ex pekerja pembangunan sungai Molek yang menetap di sini, kawin dengan warga setempat dan beranak pinak. Karena banyaknya orang-orang dari Desa Penarukan Jawa Tengah ini yang menetap, maka tempat itu disebut Kampung Penarukan, dan pada saat diadakan pembentukan desa (sekitar tahun 1906-1911), maka tempat yang tadinya disebut orang dengan nama Dungulan itu menjadi Desa Penarukan.
Di dalam wilayah Desa Penarukan ini terdapat sebuah Kampung dan Dusun, yaitu Kampung Mentaraman dan Dusun Ketanen (Tanen). Dinamakan Kampung Mentaraman karena di dalam kampong tersebut banyak dihuni orang-orang yang berasal dari Mataram. Ada terdapat dua dugaan kehadiran orang-orang Mataram di Kampung ini, yaitu : Pertama, kehadiran orang Mataram di sini adalah pada masa pecahnya perang antara kerajaan brang wetan di bawah pimpinan Panji Pulangjiwo yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, melawan tentara Mataram di bawah Tumenggung Surontani yang akhirnya gugur tahun 1614 M dan dilanjutkan oleh Tumenggung Alap-alap. Panji Pulangjiwo akhirnya gugur karena taktik jebagan Tumenggung Alap-alap, dengan demikian Brang Wetan jatuh ketangan Mataram. Selanjutnya tentara Mataram mendirikan markas pertahanan di Kampung ini, mereka kawin dengan warga local dan beranak pinak, maka jadilah tempat ini disebut orang “Kampung Mentaraman”. Kedua pada saat pembangunan Kali Molek, banyak orang-orang dari Jawa Tengah dalam hal ini orang Mataram yang nglurugbekerja di tempat  ini, mereka berkelompok dalam satu kampong, kawin dengan warga local, beranak-pinak dan menetap di kampong ini, maka jadilah tempat ini disebut orang “Mentaraman”.

TERKUAKNYA NAMA DUSUN KETANEN/TANEN.

Menurut cerita kuno, Dusun Ketanen atau Tanen itu dulunya bernama Ledok atau Pendem, dari penulusuran penulis berubahnya nama Kampung Ledok atau Pendem menjadi Ketanen atau Tanen itu terjadi karena adanya urbanisasi besar-besar dari penduduk Tulungagung ke wilayah Malang Selatan, hal ini terjadi sebagai akibat bencana banjir besar yang melanda wilayah Kabupaten Tulungagung. Dan Kampong Pendem menjadi tempat berpindahnya orang-orang dari Desa Ketanon dan Desa Tanen Kabupaten Tulungagung. Mereka menetap dan kawin dengan warga local, beranak-pinak. Karena banyaknya orang-orang dari Ketanon dan Tanen yang tinggal di situ maka kampong yang dulunya bernama Ledok atau Pendem lambat laun disebut orang menjadi Kampung Ketanon dan banyak orang yang menyebut Kampung “Tanen”. Tetapi sejak berdirinya Desa Penarukan maka kampong ini menjadi Dusun “Ketanen”.

TERKUAKNYA MISTERI LOKASI KAGENENGAN

Bermula dari rasa keingintahuan penulis mengenai misteri cerita sejarah Desa Penarukan yang sebenarnya. Nama Desa Penarukan itu lahir setelah dibangunnya Sungai Molek pada sekitar tahun 1900-an pada hal jauh sebelum itu ada cerita nama Dungulan, kampong Ledok dan Kampung Pendem. Selain itu pada sekitar tahun 1960-an penulis pernah melihat dengan mata kepala sendiri adanya penemuan Candi terpendam yang lokasinya berada di dekat Sungai Brantas, arcanya sempat diluarkan dari lobang atap candi, batu-batunya dikembalikan pada posisi semula lalu diuruk kembali, dan arca itu dibeli kolektor benda purbakala bernama Ji Seng, rumahnya di Kepanjen. Juga ada sebuah goa tersembunyi yang disebut “Urung-urung” sebuah tempat pertapaan yang tersembunyi dalam aliran sumber air di pinggiran Kali Brantas tidak jauh dari lokasi Candi. Di samping itu tidak jauh dari lokasi Candi terpendam itu juga pernah ditemukan : uang gobog banyak se Cikar, Lempengan tembaga, perhiasan dari emas se ombyok banyaknya,dan artefak-artefak kuno lainnya. Sayangnya benda-benda kuno itu sudah tidak diketahui rimbanya, kini yang tinggal hanyalah kenangan pernah memegang perhiasan kuno berupa cincin kawin, yang waktu penulis coba memasukan ke jari manis ternyata kebesaran karena ukurannya sebesar Jempol kaki.  
Untuk menguak cerita sejarah itu penulis mulai menelusuri mbah Google mencari informasi sejarah dengan banyak membaca kitab-kitab sejarah seperti Pararaton, Negara Kertagama, cerita-cerita sejarah dan artikel-artikel sejarah yang berhubungan dengan sejarah Malang.
Dari cerita Kitab Pararaton didapat cerita adanya banjir besar dan Gunung meletus. Dari Kitab Negarakretagama didapat cerita pada pupuh 37-39. Dari cerita sejarah Kerajaan Jenggala didapat cerita adanya banjir besar yang sampai mengalihkan arah alur sungai Porong. Dari artikel-artikel bernuansa sejarah Malang para sejarawan sibuk mengidentifikasi lokasi Kagenengan di daerah Wagir dan Pakisaji tetapi hasilnya meragukan alias samar di mana menurut sejarahnya Kagenengan menjadi tempat persemayaman Ken Angrok dicandikan.  Kemudian pada artikel lainnya menyebut bahwa Kagenengan itu sama artinya dengan tempat yang tergenang. Dari penelusuran itu penulis jadi ingat keberadaan candi terpendam itu yang setelah penulis amati dengan seksama ternyata areal candi itu berada pada lokasi bekas genangan banjir sungai Brantas yang hingga kini masih bisa dilihat bekasnya baik melalui udara maupun lewat darat. Bekas genangan banjir itu kini menjadi hamparan sawah yang oleh warga disebut Sawah Beran. Bahkan dari bekas aliran banjir ini akhirnya mengungkap nama Dungulan, Kampung Ledok dan Kampung Pendem, juga nama desa tetangga Kedung Pedaringan. Kejelasan ini penulis dapat dari melihat lokasi melalui Google Map di situ dengan jelas bekas aliran banjir itu mengalir ke kampong Ledok yang sangat dimungkinkan membentuk suatu Kedung yang terjadinya hanya se bulan (Dungulan), selanjutnya aliran banjir itu terus mengalir mencari tempat yang rendah dan masuk ke sungai petung dan jadilah suatu kedung yang dinamakan orang Kedungpedaringan. Dan kampong Ledok yang tergenang banjir itu satu bulan kemudian lumpurnya mengering dan jadilah Kampung Pendem.
Bila benar bahwa Kagenengan itu adalah tempat ini dan candi itu adalah tempat perabuan Ken Angrok, benarkah Desa Penarukan yang kini jadi kelurahan itu dulunya adalah Kutaraja yang kini letak persisnya sedang dicari-cari oleh para sejarawan-wati ? Untuk mencari jawabnya, gali dulu candinya, InsyaAllah akan didapat cerita sejarah baru yang signifikan, bahkan tidak menutup kemungkinan dapat merubah cerita sejarah yang sudah ada. Cerita ini bukan mengada-ada tetapi faktanya memang nyata dan ada. Fakta lainnya adalah kini Kantor Bupati Malang berada di Penarukan, adakah ini merupakan naluri sejarah yang menembus dimensi sejarah, hanya Tuhan yang maha tahu.
  1. Lokasi Candi yang terpendam berada di hamparan tegalan milik P. Lahuri
  2. <iframe src="https://embed.waze.com/iframe?zoom=17&lat=-8.137260&lon=112.586401&ct=livemap" width="600" height="450" allowfullscreen></iframe>
Denmbahbei, 
Penarukan 11 Maret 2017