(Suatu Kisah Cerita Sejarah tentang awal mula dibangunnya Sungai Molek)
Dahulu kala tanah tegal
Beran itu menyatu dengan tanah Kampung yang ada di sebelah baratnya (berada dalam
satu hamparan). Diduga setelah diterjadi banjir besar yang melanda Sungai
Brantas hingga airnya meluber menerjang hamparan itu, maka hamparan tanah itu
terpisah menjadi dua yaitu Tegal Beran dan kampong Tengah. Sedangkan luberan
banjir yang memutus hamparan itu menjadi sungai yang lebar tetapi dangkal
(bekas tepian tanah yang tergerus sungai luberan banjir itu masih dapat dilihat
hingga kini).
Pada kisaran tahun 1900-an
Belanda membangun Sungai Molek, namun jauh sebelum itu sudah ada sungai luberan
dari kali Brantas yang secara alami menjadi sungai alam yang melintasi suatu
hamparan tanah. Sungai luberan itu mengering bila Kali Brantas surut, dan akan
kembali mengalir apabila Kali Brantas banjir. Hamparan tanah yang teraliri
luberan Kali Brantas tersebut dimanfaatkan oleh penduduk setempat menjadi
sawah, namun hanya dapat ditanami Padi apabila musim hujan tiba, sedang pada
musim kemarau sawah tersebut dibiarkan bero (tidak ditanami) karena kondisi
tanahnya kering kerontang, oleh karena itu penduduk setempat menyebutnya dengan
sebutan “Sawah Beran”. Dengan kata lain kala itu sawah Beran dalam setahun hanya
bisa ditanami 1 kali saja.
Suatu ketika terpikir oleh
penduduk, bahwa untuk meningkatkan produksi padi diupayakan sawah Beran dapat
ditanami padi sebanyak 2 kali dalam setahun. Oleh karena itu kondisi sawah
beran pada musim kemarau harus bisa mendapat air, apabila tidak maka sawah
Beran hanya dapat ditanami padi sekali dalam setahun. Untuk mewujudkan hal itu
jalan yang harus ditempuh adalah membendung Kali Brantas dan mengalirkan airnya
ke Sawah. Maka perencanaan pun dimulai diawali
dengan meneliti tempat yang akan dibendung dan ditetapkan bahwa lokasi yang
akan dibendung adalah tempat yang saat ini menjadi Dam mblobo. Konstruksi bendungan
saat itu sangat sederhana, terdiri dari batangan balok kayu jati berukuran
besar, ditata sedemikian rupa sehingga menjadi Dam yang dapat membendung tekanan air sungai Brantas dan menaikkan
permukaan air sungai sehingga meluber masuk ke alur aliran kali luberan dan airnya
mengalir ke sawah Beran. Namun sangat disayangkan bahwa pada saat musim
penghujan tiba Dam kayu itu selalu tidak mampu menahan derasnya air sehingga
ambrol, dan kayu-kayunya hanyut terbawa arus. Para petani pun sibuk merambang
kembali kayu yang hanyut untuk dipasang kembali
menjadi Dam, namun untuk memasangnya harus menunggu sampai musim kemarau tiba.
Diceritakan bahwa bila
kayu-kayu itu terbawa banjir, baru bisa ditangkap kembali di daerah sengguruh.
Untuk membawa kayu-kayu itu dari Sengguruh menuju Dam mBlobo dengan cara
ditarik berpasang-pasang ekor lembu atau Kerbau. Begitu secara rutin terus menerus
kegiatan itu dilakukan menjadi agenda tahunan turun temurun yang dilakukan oleh
petani sawah beran. Perkembangan selanjutnya karena air cukup melimpah, maka
pengairan kali luberan tersebut juga
digunakan untuk mengairi sawah di bagian selatan dengan area yang cukup luas,
mencakup sampai Dusun Sanggrahan hingga ke selatan.
Pada tahun 1850 menurut
sejarah, Indonesia tidak lagi dikuasai oleh VOC, karena setelah perang
Diponegoro VOC mengalami kebangkrutan dan
bubar, tetapi jajahan beralih ke Pemerintah Belanda. Rupanya pemerintah Hindia
Belanda tanggap terhadap adanya potensi yang sangat besar dalam bidang
pertanian utamanya di daerah sekitar aliran Sungai Brantas. Dam kayu mBlobo
mendapat perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Setelah melalui penelian yang
serius, seperti telah diutarakan di atas, pada kisaran tahun 1900-an
dibangunlah saluran irigasi teknis yang dinamakan sungai Molek, sungai ini
merupakan pengembangan kali luberan sawah beran. Pembangunan Sungai Molek ini
secara besar-besaran menembus sampai jauh kearah barat hingga area pertanian
Lembupeteng Karangkates. Dengan pembangunan ini banyak pendatang dari luar
daerah ngelurug boro kerja ke tempat ini.
Pembangunan Kali molek ini
bukanlah atas kebaikan Pemerintah Belanda kepada rakyat pribumi agar kondisi
tanah menjadi subur dan rakyat menjadi makmur. Namanya penjajah, pasti tidak
ingin rugi, apalagi berbaik hati dengan cuma-cuma membangun irigasi tehnis yang
memerlukan biaya yang sangat besar. Dalam pikiran bangsa penjajah selalu
berupaya mengeruk hasil sebanyak-banyaknya dari tanah jajahannya. Rupanya strategi telah disiapkan dengan cara
menetapkan aturan tanah gogol, di mana semua sawah yang teraliri irigasi teknis
ditetapkan statusnya menjadi tanah Gogol. Tanah Gogol adalah tanah milik
Pemerintah Hindia Belanda, tanah gogol tidak dapat dijual belikan, sedang
petani dikatagorikan sebagai penggarapnya, setiap penggarap tanah Gogol akan
mendapatkan Kikitir (Petok D) yang di situ tercantum nama penggarapnya. Pajak yang
dikenakan pada tanah gogol sangat tinggi, sehingga sering terjadi pengemban
garapan tanah gogol tidak kuat membayar pajaknya dan ujung-ujungnya tanah
dikembalikan ke pemerintah Hindia Belanda melalui pemerintah desa. Demikian
pula para petani Sawah Beran, mereka yang sebelum dibangunnya sungai Molek
bebas menikmati hasil panennya tanpa dibebani pajak yang memberatkan, sejak
dibangunnya irigasi sungai Molek, dipaksa harus mendapat pengenaan pajak yang
sangat memberatkan.
Adanya ketentuan tanah
gogol ini rakyat merasa sangat tercekik, maka tak heran setiap tahunnya selalu saja
ada rakyat yang mengembalikan tanah gogolannya. Cara mengembalikan maupun
mendapatkan tanah gogolanpun prosesnya sangat mudah, setiap tahun sehabis panen
para orang gogol diudang rapat desa. Di dalam rapat desa itu agendanya adalah
membayar pajak sawah gogol, membayar urunan desa untuk melaksakan bersih desa
dan juga menampung dan melaksanakan usulan bila ada petani yang bermaksud
mengembalikan tanah gogol yang menjadi tanggungannya serta mencari siapa yang
bersedia menampung tanah gogol yang baru dilepas. Prosesnya sederhana, hanya
dicatat siapa yang melepas dan siapa yang menerima kemudian diusulkan untuk
mendapat petok D (kikitir).
Sumber Cerita dan Daftar Pustaka :
- Mbah Mustari Alm, mantan Kamituwo Dusun Ketanen, lahir tahun 1912;
- Mbah H.Mada’I Alm, mantan Modin Penarukan, Lahir tahun 1917;
- Mbah Supar Alm, mantan Kuwowo Penarukan Lahir tahun 1927 ;
- Drs.Bayu Surianingrat, 1985, Pemerintahan Administrasi Desa Kelurahan,Aksara Baru, Jakarta
Keterangan tentang penulisan:
Cerita ini didapatkan penulis pada
tahun 1981 saat para nara sumber masih hidup, kini mereka telah lama meninggal
dunia, semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan YME, diampuni segala dosanya, dan segala amalnya diterima Allah SWT sebagai amal yang sholeh, amiin.. Beruntung penulis masih ingat cerita beliau-beliau ini. Untuk lebih
menjamin keakuratan cerita, penulis sengaja menyelaraskan cerita dengan kondisi
lapangan dan dipadu dengan kajian pustaka.
Penarukan,
23 Maret 2017
Penyunting
dan penyelaras cerita
Denmbahbei