Senin, 17 Juli 2017

MENGUAK SEJARAH DESA PENARUKAN PANJEN 1

Dari pengamatan penulis hampir semua desa di Indonesia belum mempunyai buku sejarah mengenai desanya, para kepala desa/lurah terkesan meremehkan hal ini, namun demikian sebenarnya mereka ini sangat berharap dapat memiliki catatan sejarah mengenai desanya. Demikian juga dengan warga desa, sebenarnya mereka juga berharap dapat mengetahui sejarah desanya di masa lalu. Keingintahuan akan sejarah desanya tersebut pada umumnya kandas atau tak terpenuhi karena tidak adanya buku cerita sejarah desa setempat yang dengan akurat menceritakannya. Di desa-desa pada umumnya sudah ada buku cerita sejarah desa, dan itu biasanya dibuat hanya 1 (satu) buah untuk kepentingan dibacakan ada acara bersih desa. Isi cerita sejarahnya pun sangat sederhana, pada umumnya menceritakan asal usul nama desa dan nama-nama Kepala Desa yang pernah menjabat, sedangkan sejarah perkembangannya tidak terekam dalam buku sejarah yang dibuat desa itu. Tentang penggalian nama asal usul desa, pada umumnya masih menggunakan jurus OAG (Otak Atik Gatuk) yang kadang kala sudah diotak atik sedemikian rupa tetapi tidak juga gatuk, bahkan akibat jurus OAG ini asal usul nama desa menjadi kabur karena menjadi banyak versi dan kesemuanya Gatuk ke nama desa.
Menggali cerita sejarah dengan jurus OAG ini kelihatannya logis, tetapi bila ditelusuri secara cermat tidak jarang hal ini malah menyesatkan alur cerita sejarah yang semestinya. Dan fatalnya para Kepala Desa dalam upaya menggali sejarah desanya banyak dinggunakan Jurus OAG ini, hal ini karena adanya kebuntuan informasi tentang cerita sejarah sebagai akibat dari sangat minimnya peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sumber referensi. Minimnya peninggalan sejarah ini berkaitan erat dengan kurangnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya sebuah peninggalan benda bersejarah sehingga sering terjadi penemuan benda bersejarah diabaikan begitu saja bahkan dianggap barang tak berguna. Demikian juga banyak situs-situs bersejarah yang semestinya dirawat dengan baik malah dibiarkan terbengkalai bahkan dirusak, hal ini sungguh sangat disayangkan sekali. 
Kesulitan penggalian sejarah berikutnya diakibatkan karena sudah sangat sulitnya ditemukan orang yang dapat bercerita tentang sejarah desanya disebabkan karena mereka telah banyak yang meninggal dunia, sedangkan semasa hidupnya mereka tidak banyak menularkan cerita sejarah kepada generasi di bawahnya, bukan karena tidak mau tetapi lebih karena bergesernya nilai budaya yang terus berkembang yang berdampak kurang minatnya generasi penerus terhadap kisah cerita lama yang dianggapnya tidak menarik, jadul, tempo doeloe dan ketinggalan jaman.
Desa Penarukan yang sejak 1 Januari 1981 telah beralih status menjadi Kelurahan ini memang telah memiliki catatan sejarah desa dan telah diarsipkan, tetapi kembali kepada kualitas alur cerita dan ke dalaman pokok pembahasan cerita sejarahnya masih sangat jauh dari harapan karena tidak didukung dengan sumber data sejarah yang memadai, unsur OAG masih mewarnai alur ceritanya, dan tampak jelas adanya alur cerita yang terputus bahkan tidak terrekam  dalam alur cerita, misalnya : Nama punden desa berupa goa yang disebut (Urung-urung), nama Dungulan, Palurukan, Penarukan, Kampung Ketanen/Tanen , Kampung Mentaraman, Kampung Tengah, Kampung Buntung, Kampung Pandean, Kampung Kauman, Beranan, Kampung Kebonan, Kampung Yai Kamit dan banyak lagi yang lainnya. Belum lagi jenis-jenis seni budaya yang berkembang seperti, Wayang Kulit, Tandaan (Tayub), Wong Moco (membaca kisah), Pencak Dor, Metik Panen Padi dan lain-lain, sama sekali tidak disinggung. Catatan sejarah desa Penarukan yang sudah ada itu dibuat secara singkat berisi tentang pokok-pokoknya saja. Tentang kualitasnya, tentunya hal ini akan kelihatan setelah diadakan pembahasan nanti, dan akan tampak sampai di mana tingkat akurasi kebenarannya, kualitas keakuratannya maupun kedalaman pokok pembahasannya, namun demikian cerita sejarah desa yang sudah ada itu masih tetap berguna sebagai salah satu penuntun maupun petunjuk untuk menelusuri alur sejarah menuju ke suatu titik yaitu tersusunnya sejarah desa Penarukan yang lebih lengkap, dengan kualitas dan akurasi kebenaran yang lebih baik.
Letak geografi Desa Penarukan berada di tepi sungai Brantas yang mempunyai sejarah sangat panjang. Sungai yang menurut sejarahnya sejak dulu kala hingga kini menjadi urat nadi penopang ekonomi penduduk sekitarnya.
Di jaman dulu, ketika lalulintas perhubungan belum maju, prasana dan sarana jalan darat masih sangat minim sekali, daratan masih didominasi hutan belantara, maka jalur aliran sungai menjadi sarana lalulintas perhubungan yang sangat vital bagi kehidupan manusia, oleh karena itu tak heran bila nama-nama desa yang teridentifikasi di dalam prasasti maupun kitab-kitab kuno, setelah diteliti dengan seksama terbukti bahwa kebanyakan desa-desa itu berada tak jauh dari sungai. Demikian juga adanya bekas peninggalan benda purbakala yang mengindikasikan adanya sebuah desa, sering ditemukan tidak jauh dari sungai. Kali Brantas yang membentang dari Kota Batu mengalir sejauh + 320 Km dan bermuara di Porong dan Surabaya, sejak dulu kala telah terbukti menjadi urat nadi perekonomian kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, bahkan hingga saat ini DAS Brantas masih sangat dirasakan arti pentingnya. (Dwi Cahyono) seorang arkeolog Universitas Negeri Malang, dalam sebuah artikel bertajuk “Brantas Merajut”, menyampaikan: “BRANTAS, sungai terpanjang di Jawa Timur yang melintasi paling tidak 12 kabupaten/kota, memiliki peran vital sejak dahulu kala. Kehidupan masyarakat sejak zaman kerajaan, seperti Singasari, Kadiri, dan Majapahit, pernah menghiasi alur sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa itu”.

Masih oleh Dwi Cahyono, dalam “Benang air”, Arkeolog dari Universitas Negeri Malang, ini mengatakan :
“Brantas merupakan benang air yang merajut belasan sub area wilayah tengah Jawa Timur, mulai dari hulu di Kota Batu hingga hilir diSurabaya dan Sidoarjo. Situs-situs masa lalu ada di semua sub-DAS meski kerapatannya berbeda. Jumlahnya cukup banyak dan temuan paling padat ada di antara Blitar hingga di sisi utara Mojokerto. Mengapa banyak temuan? karena sub-DAS dari Blitar sampai Mojokerto menjadi pusat pemerintahan masa lalu, mulai dari Mataram Dinasti Isyana-Sindok, Kediri, hingga Majapahit. Dan, kerajaan-kerajaan itu ada di sub-DAS Brantas, termasuk Singasari yang tidak jauh dari hulu sungai,” ucap Dwi yang belum lama ini menemukan struktur bangunan kuno di tengah Sungai Brantas di wilayah Kabupaten Tulungagung. Peninggalan masa lalu yang terdapat di DAS Brantas tidak serta-merta merupakan hasil karya pendahulu saat zaman kerajaan berdiri. Ada beberapa temuan yang merupakan peninggalan tahun-tahun sebelumnya atau prasejarah. Homo Mojokertensis, misalnya, fosilnya yang ditemukan di Perning tahun 1936 juga berada di DAS Brantas. Jejak peradaban kuno yang tertinggal di DAS Brantas tidak hanya peninggalan masa Hindu-Budha, tetapi juga Islam. Banyak peninggalan masa Islam, seperti masjid dan makam, di DAS sepanjang 320 kilometer itu.”

Terkait dengan letak geografi desa Penarukan yang juga berada di tepi kali Brantas, adalah menjadi mungkin bahwa Desa Penarukan adalah salah satu desa tua (Wanua) dijaman kerajaan, namun belum diketahui mulai adanya Desa Penarukan itu dijaman kerajaan apa, yang jelas Desa Penarukan itu merupakan wilayah yang cukup penting dan strategis.
Adanya fakta bahwa di desa Penarukan tepatnya di tepi kali Brantas, pada tahun 1960-an pernah ditemukan satu bangunan candi yang hingga kini masih utuh terpendam dalam tanah dan hingga kini belum pernah digali, selain itu tidak jauh dari lokasi candi dan berada persis di tepi kali Brantas terdapat Punden berupa goa pertapaan, warga setempat menyebutnya “urung-urung”. Di samping hal tersebut disekitaran lokasi candi pernah ditemukan artefak-artefak kuno. Hal-hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa Desa Penarukan adalah Desa tua yang masih misterius, dan tidak menutup kemungkinan  di masa lalu Desa Penarukan adalah merupakan tempat perkembangan peradaban penduduk Kepanjen dan sekitarnya.

Dalam prasasti Turyyan berangka tahun 929 Masehi, tersebut adanya nama Panarukan dan urung-urung, serta isinya mengungkap adanya pembangunan tempat pemujaan di sebelah barat sungai, dan pemberian tanah tegalan agar dibuat sawah dengan cara membendung sungai. Hal ini sangat idetik dengan ciri-ciri keadaan Desa Penarukan utamanya yang berada di tepi kali Brantas tersebut di atas. Pada akhirnya timbul pertanyaan besar, adakah yang tersurat dalam prasasti itu adalah Desa Penarukan? dari pertanyaan inilah upaya menguak sejarah Desa Penarukan menimbulkan dorongan yang sangat kuat karena adanya dugaan kuat bahwa dengan terkuaknya sejarah Desa Penarukan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan sejarah Indonesia khususnya Malang selatan.


Denbahbei, 17-7-17